Cinta Rasulullah dan Perayaan Maulid
Dua kalimat di atas seakan tidak bisa terpisahkan. Mengaku cinta berarti melakukan perayaan maulid, tidak maulid berarti tidak cinta.
Sehingga ada yang mengatakan, Jika ada yang bertanya kenapa anda melakukan perayaan maulid ?
Itu sama dengan dia menanyakan kenapa anda mencintai Rasûlullâh Shalallahu ‘alaihi wa salam ?
Sebuahkan ungkapan yang menggambarkan betapa cinta Rasûlullâh Shalallahu ‘alaihi wa salam dan perayaan maulid begitu erat hubungannya.
Yang menjadi pertanyaan adalah benarkah perayaan maulid itu merupakan salah satu cara yang dibenarkan syariat dalam membuktikan cinta kepada Rasûlullâh Shalallahu ‘alaihi wa salam ?
Pertanyaan ini layak dilontarkan, agar kecintaan kepada Rasûlullâh Shalallahu ‘alaihi wa salam bisa membuahkan keutamaan-keutamaan yang diinginkan, bukan sebaliknya menyeret kepada perbuatan ghuluw.
Seseorang yang mengaku cinta dan berkeinginan mengagungkan Rasûlullâh Shalallahu ‘alaihi wa salam tidak berarti bebas mengekspresikan cintanya dengan cara-cara yang diinginkan atau cara yang dipandang baik tanpa landasan syariat.
Lihatlah saat salah seorang shahabat Rasûlullâh Shalallahu ‘alaihi wa salam yang menampakkan rasa hormat dan cintanya kepada beliau Shalallahu ‘alaihi wa salam dengan cara bersujud dihadapan beliau Shalallahu ‘alaihi wa salam karena melihat penganut agama lain bersujud dihadapan para pendeta mereka. Lalu dia memandang Rasûlullâh lebih layak dihormati dengan cara ini dibandingkan mereka, tapi apa tanggapan Rasûlullâh Shalallahu ‘alaihi wa salam .
Beliau Shalallahu ‘alaihi wa salam melarangnya dan bersabda :
لَوْ كُنْتُ آمِراً أَحَداً أَنْ يَسْجُدَ لأحَدٍ لَأمَرْتُ المَرأةَ أنْ تَسْجُدَ لِزَوجِهَا
” Seandainya saya boleh memerintahkan seseorang untuk sujud kepada orang lain, maka sungguh saya sudah memerintahkan perempuan untuk sujud kepada suaminya. ( HR. Ibnu Majah)
Rasûlullâh Shalallahu ‘alaihi wa salam melarang para shahabatnya memuji beliau Shalallahu ‘alaihi wa salam dengan pujian yang melampaui batas !
Rasûlullâh Shalallahu ‘alaihi wa salam bersabda :
لَا تُطْرُونِي كَمَا أَطْرَتْ النَّصَارَى ابْنَ مَرْيَمَ فَإِنَّمَا أَنَا عَبْدُهُ فَقُولُوا عَبْدُ اللَّهِ وَرَسُولُهُ
” Janganlah kalian berlebihan dalam memujiku sebagaimana kaum Nashara berlebihan dalam memuji Nabi Isa ibnu Maryam. Sesungguhnya aku hanya seorang hamba, maka katakanlah, Hamba Allâh dan Rasul-Nya. (HR. al-Bukhâri, no. 3445)
Apa yang menyebabkan mereka melakukan hal-hal di atas ? Rasa cinta dan hormat adalah jawabnya.
Mereka mengekspresikan rasa cinta dan hormat itu dengan cara yang mereka pandang baik, namun ternyata ditolak dan dilarang oleh Rasûlullâh Shalallahu ‘alaihi wa salam .
Berbagai peristiwa ini hendaknya mendorong kita menempuh cara-cara yang benar dalam merealisasikan rasa cinta kepada Rasûlullâh Shalallahu ‘alaihi wa salam . Hendaknya kita menjadikan perintah-perintah serta larangan Rasûlullâh Shalallahu ‘alaihi wa salam sebagai tolok ukur kebenaran juga praktek-praktek yang dilakukan oleh para shahabat Rasûlullâh Shalallahu ‘alaihi wa salam .
Karena mereka adalah orang-orang yang mendapatkan ridha dari Allâh ta’ala dan mereka juga orang-orang yang sangat mencintai dan mengagungkan Rasûlullâh Shalallahu ‘alaihi wa salam , sebagaimana ungkapan Urwah bin Masud ats-Tsaqafi, : ” Saya sudah diutus kepada banyak penguasa dan saya tidak pernah melihat satu penguasapun yang diagungkan oleh pengikutnya sebagaimana Muhammad diagungkan oleh para shahabatnya.
Oleh karena itu, amalan-amalan mereka harus dijadikan patokan untuk menilai kelurusan suatu amalan yang dilakukan oleh orang-orang berikutnya.
Perayaan maulid diantara yang harus diukur keabsahannya dengan praktek mereka. Jika perayaan itu dianggap ibadah, Adakah diantara para shahabat yang pernah melakukannya ?
Jika tidak pernah, mengapa mereka tidak melakukannya ?
Apakah ini berarti tidak mencintai Rasûlullâh Shalallahu ‘alaihi wa salam ?
Setiap insan yang beriman mesti akan mengatakan bahwa para shahabat itu adalah orang-orang yang sangat mencintai Rasûlullâh Shalallahu ‘alaihi wa salam , bahkan mereka siap berkorban apa saja demi mendukung dan membela Beliau Shalallahu ‘alaihi wa salam .
Mereka juga sudah mengetahui sabda Rasûlullâh Shalallahu ‘alaihi wa salam yang mewajibkan pengikutnya untuk mendahulukannya cinta kepadanya di atas cinta-cinta kepada semua makhluk, termasuk kepada dirinya sendiri.
Rasûlullâh Shalallahu ‘alaihi wa salam bersabda:
لَا يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى أَكُونَ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِنْ وَلَدِهِ وَ وَالِدِهِ وَالنَّاسِ أَجْمَعِينَ
” Tidak akan sempurna iman salah seorang diantara kalian sampai ia menjadikan aku lebih dia cintai daripada cintanya kepada anak, orang tua dan semua manusia. (HR Bukhâri)
Jika perayaan maulid itu merupakan salah satu cara mengungkapkan cinta yang dibenarkan dalam syariat tentu mereka sudah melakukannya.
Ketiadaan perayaan maulid nabi pada saat nabi Shalallahu ‘alaihi wa salam masih hidup juga setelah beliau Shalallahu ‘alaihi wa salam sudah wafat menunjukkan bahwa perayaan itu tidak termasuk cara yang benar dalam mengekspresikan cinta kepada Rasûlullâh Shalallahu ‘alaihi wa salam .
Taat kepada perintah-perintah Rasûlullâh Shalallahu ‘alaihi wa salam dan menjauhi larangan-larangan beliau Shalallahu ‘alaihi wa salam adalah bukti cinta yang sebenarnya.
Semoga Allâh ta’ala senantiasa menganugerahkan kepada kita semua cinta kepada Rasûlullâh Shalallahu ‘alaihi wa salam .
Sember dari: https://seindahsunnah.com
Dua kalimat di atas seakan tidak bisa terpisahkan. Mengaku cinta berarti melakukan perayaan maulid, tidak maulid berarti tidak cinta.
Sehingga ada yang mengatakan, Jika ada yang bertanya kenapa anda melakukan perayaan maulid ?
Itu sama dengan dia menanyakan kenapa anda mencintai Rasûlullâh Shalallahu ‘alaihi wa salam ?
Sebuahkan ungkapan yang menggambarkan betapa cinta Rasûlullâh Shalallahu ‘alaihi wa salam dan perayaan maulid begitu erat hubungannya.
Yang menjadi pertanyaan adalah benarkah perayaan maulid itu merupakan salah satu cara yang dibenarkan syariat dalam membuktikan cinta kepada Rasûlullâh Shalallahu ‘alaihi wa salam ?
Pertanyaan ini layak dilontarkan, agar kecintaan kepada Rasûlullâh Shalallahu ‘alaihi wa salam bisa membuahkan keutamaan-keutamaan yang diinginkan, bukan sebaliknya menyeret kepada perbuatan ghuluw.
Seseorang yang mengaku cinta dan berkeinginan mengagungkan Rasûlullâh Shalallahu ‘alaihi wa salam tidak berarti bebas mengekspresikan cintanya dengan cara-cara yang diinginkan atau cara yang dipandang baik tanpa landasan syariat.
Lihatlah saat salah seorang shahabat Rasûlullâh Shalallahu ‘alaihi wa salam yang menampakkan rasa hormat dan cintanya kepada beliau Shalallahu ‘alaihi wa salam dengan cara bersujud dihadapan beliau Shalallahu ‘alaihi wa salam karena melihat penganut agama lain bersujud dihadapan para pendeta mereka. Lalu dia memandang Rasûlullâh lebih layak dihormati dengan cara ini dibandingkan mereka, tapi apa tanggapan Rasûlullâh Shalallahu ‘alaihi wa salam .
Beliau Shalallahu ‘alaihi wa salam melarangnya dan bersabda :
لَوْ كُنْتُ آمِراً أَحَداً أَنْ يَسْجُدَ لأحَدٍ لَأمَرْتُ المَرأةَ أنْ تَسْجُدَ لِزَوجِهَا
” Seandainya saya boleh memerintahkan seseorang untuk sujud kepada orang lain, maka sungguh saya sudah memerintahkan perempuan untuk sujud kepada suaminya. ( HR. Ibnu Majah)
Rasûlullâh Shalallahu ‘alaihi wa salam melarang para shahabatnya memuji beliau Shalallahu ‘alaihi wa salam dengan pujian yang melampaui batas !
Rasûlullâh Shalallahu ‘alaihi wa salam bersabda :
لَا تُطْرُونِي كَمَا أَطْرَتْ النَّصَارَى ابْنَ مَرْيَمَ فَإِنَّمَا أَنَا عَبْدُهُ فَقُولُوا عَبْدُ اللَّهِ وَرَسُولُهُ
” Janganlah kalian berlebihan dalam memujiku sebagaimana kaum Nashara berlebihan dalam memuji Nabi Isa ibnu Maryam. Sesungguhnya aku hanya seorang hamba, maka katakanlah, Hamba Allâh dan Rasul-Nya. (HR. al-Bukhâri, no. 3445)
Apa yang menyebabkan mereka melakukan hal-hal di atas ? Rasa cinta dan hormat adalah jawabnya.
Mereka mengekspresikan rasa cinta dan hormat itu dengan cara yang mereka pandang baik, namun ternyata ditolak dan dilarang oleh Rasûlullâh Shalallahu ‘alaihi wa salam .
Berbagai peristiwa ini hendaknya mendorong kita menempuh cara-cara yang benar dalam merealisasikan rasa cinta kepada Rasûlullâh Shalallahu ‘alaihi wa salam . Hendaknya kita menjadikan perintah-perintah serta larangan Rasûlullâh Shalallahu ‘alaihi wa salam sebagai tolok ukur kebenaran juga praktek-praktek yang dilakukan oleh para shahabat Rasûlullâh Shalallahu ‘alaihi wa salam .
Karena mereka adalah orang-orang yang mendapatkan ridha dari Allâh ta’ala dan mereka juga orang-orang yang sangat mencintai dan mengagungkan Rasûlullâh Shalallahu ‘alaihi wa salam , sebagaimana ungkapan Urwah bin Masud ats-Tsaqafi, : ” Saya sudah diutus kepada banyak penguasa dan saya tidak pernah melihat satu penguasapun yang diagungkan oleh pengikutnya sebagaimana Muhammad diagungkan oleh para shahabatnya.
Oleh karena itu, amalan-amalan mereka harus dijadikan patokan untuk menilai kelurusan suatu amalan yang dilakukan oleh orang-orang berikutnya.
Perayaan maulid diantara yang harus diukur keabsahannya dengan praktek mereka. Jika perayaan itu dianggap ibadah, Adakah diantara para shahabat yang pernah melakukannya ?
Jika tidak pernah, mengapa mereka tidak melakukannya ?
Apakah ini berarti tidak mencintai Rasûlullâh Shalallahu ‘alaihi wa salam ?
Setiap insan yang beriman mesti akan mengatakan bahwa para shahabat itu adalah orang-orang yang sangat mencintai Rasûlullâh Shalallahu ‘alaihi wa salam , bahkan mereka siap berkorban apa saja demi mendukung dan membela Beliau Shalallahu ‘alaihi wa salam .
Mereka juga sudah mengetahui sabda Rasûlullâh Shalallahu ‘alaihi wa salam yang mewajibkan pengikutnya untuk mendahulukannya cinta kepadanya di atas cinta-cinta kepada semua makhluk, termasuk kepada dirinya sendiri.
Rasûlullâh Shalallahu ‘alaihi wa salam bersabda:
لَا يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى أَكُونَ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِنْ وَلَدِهِ وَ وَالِدِهِ وَالنَّاسِ أَجْمَعِينَ
” Tidak akan sempurna iman salah seorang diantara kalian sampai ia menjadikan aku lebih dia cintai daripada cintanya kepada anak, orang tua dan semua manusia. (HR Bukhâri)
Jika perayaan maulid itu merupakan salah satu cara mengungkapkan cinta yang dibenarkan dalam syariat tentu mereka sudah melakukannya.
Ketiadaan perayaan maulid nabi pada saat nabi Shalallahu ‘alaihi wa salam masih hidup juga setelah beliau Shalallahu ‘alaihi wa salam sudah wafat menunjukkan bahwa perayaan itu tidak termasuk cara yang benar dalam mengekspresikan cinta kepada Rasûlullâh Shalallahu ‘alaihi wa salam .
Taat kepada perintah-perintah Rasûlullâh Shalallahu ‘alaihi wa salam dan menjauhi larangan-larangan beliau Shalallahu ‘alaihi wa salam adalah bukti cinta yang sebenarnya.
Semoga Allâh ta’ala senantiasa menganugerahkan kepada kita semua cinta kepada Rasûlullâh Shalallahu ‘alaihi wa salam .
Sember dari: https://seindahsunnah.com
0 Response to "Cinta Rasulullah dan Perayaan Maulid"
Posting Komentar